Semenjak lulus, tepatnya semenjak bekerja, saya jarang sekali bisa menamatkan suatu buku. Boro-boro tamat, biasanya suatu buku berakhir naas di tengah perjalanan dan tidak saya sentuh kembali karena mood membaca tiba-tiba menguap secara mistis. Maka saya terheran-heran ketika bulan ini (hingga saya mengetik postingan ini) saya telah menamatkan 4 buah buku. Prestasi yang luar biasa bukan? Bukan. Hahaha. Saya akhirnya mendapati bahwa melarikan pikiran sejenak dan menenggelamkannya ke dalam suatu buku merupakan cara yang paling efisien untuk melupakan sejenak rasa resah yang selalu menghantui belakangan ini.
Saya sedang jatuh cinta dengan karya-karya seorang penulis jepang bernama Haruki Murakami.
Berawal dari Kafka on The Shore, lanjut Norwegian Wood, saya langsung jatuh cinta dan penasaran dengan karya-karyanya yang lain. After Dark dan Sputnik Sweetheart adalah dua yang berhasil saya khatamkan di bulan ini, tapi sekarang mari kita bahas tentang si Sputnik Sweetheart.
Cover versi tidak vulgar. Versi yang saya baca bergambar wanita nude :P |
Pernahkah kamu merasa benar-benar kehilangan akan sesuatu? Sesuatu yang benar-benar berharga. Mungkin dulu semasa 'sesuatu' itu masih ada, kamu tidak menyadari makna kehadirannya dan tidak menyadari bahwa akan sebegitu menyakitkannya ketika ia menghilang. Vanished, like a smoke. Rasa kehilangan itu yang menjadi tema besar dalam buku ini. Miu, seorang wanita mapan, yang kehilangan sesuatu dalam dirinya, yang menjadikannya merasa setengah hidup. K, sudut pandang 'aku' dalam buku ini yang kehilangan Sumire. Dan Sumire, seorang gadis yang menurut saya keren sekali- yang sangat hobi menulis dan segala sesuatu yang berbau literatur, yang tiba-tiba kehilangan sesuatu dalam dirinya ketika mulai jatuh cinta kepada Miu, membuatnya tak lagi bisa menulis, bahkan membaca buku.
"Imagine The Greatest Hits of Bobby Darin minus 'Mack the Knife', That's what my life would be like without you."
Sama seperti buku-buku Haruki Murakami yang lain, saya bengong dan melamun lama setelah selesai membaca Sputnik Sweetheart ini. Hal yang saya sukai dari karya-karyanya adalah ceritanya yang penuh dengan hal-hal absurd yang terkadang (sering malah) tidak saya pahami. Membuat saya bertanya-tanya apa maksud di balik itu semua. Membaca buku-bukunya membuat saya merasa sedang bermimpi, mimpi panjang yang absurd dan surreal, dan ketika terbangun kepala saya dipenuhi dengan begitu banyak pertanyaan yang jawabannya entah ada di mana. Perasaan yang menyenangkan. Selain itu, Haruki selalu sukses membangun karakter-karakter yang kuat dalam ceritanya. Dengan background hidup yang kebanyakan kelam.
Saya menyadari betul bahwa kebanyakan review buku yang saya tulis ujung-ujungnya selalu membuat si bukunya terlihat tidak semenarik yang saya baca. Akan tetapi seseorang pernah berkata, tulislah apapun mengenai buku yang telah kamu baca, agar ingatan tentang buku itu tidak hilang begitu saja. Scripta manent verba volant. Tapi percayalah, terlepas dari review saya yang kacangan ini, Sputnik Sweetheart ini sangat recommended. Jauh-jauh lebih keren daripada yang saya gambarkan di sini :)
---
Tomorrow I’ll get on a plane and fly back to Tokyo. The summer holidays are nearly over, and I have to step once more in that endless stream of the everyday. There’s a place for me there. My apartment’s there, my desk, my classroom, my pupils. Quiet days await me, novels to read. The occasional affair.
But tomorrow I’ll be a different person, never again the person I was. Not that anyone will notice after I’m back in Japan. On the outside nothing will be different. But something inside has burned up and vanished. Blood has been shed, and something inside me is gone. Face turned down, without a word, that something makes its exit. The door opens; the door shuts. The light goes out. This is the last day for the person I am right now. The very last twilight. When dawn comes, the person I am won’t be here any more. Someone else will occupy this body.
*
Why do people have to be this lonely? What’s the point of it all? Millions of people in this world, all of them yearning, looking to others to satisfy them, yet isolating themselves. Why? Was the Earth put here just to nourish human loneliness? I turned face-up on the slab of stone, gazed at the sky, and thought about all the man-made satellites spinning around the Earth. The horizon was still etched in a faint glow, and stars began to blink on in the deep, wine-coloured sky. I gazed among them for the light of a satellite, but it was still too bright out to spot one with the naked eye. The sprinkling of stars looked nailed to the spot, unmoving. I closed my eyes and listened carefully for the descendants of Sputnik, even now circling the Earth, gravity their only tie to the planet. Lonely metal souls in the unimpeded darkness of space, they meet, pass each other, and part, never to meet again. No words passing between them. No promises to keep.
bener banget,,,
ReplyDeletesusah banget skrg buat namatin baca buku mbak
wah 4 buku? great mbakk!!
keep reading and keep writing