Kita, manusia, seringkali menganggap bahwa kita adalah
pembuat rencana ulung. Tapi terkadang, kita suka melupakan bahwa rencana kita
sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan rencana Tuhan.
Saya sering berbangga hati bahwa saya adalah pembuat rencana
liburan – bahasa kerennya itinerary –
yang ulung. Jadwal perjalanan saya susun sedemikian rupa, hingga ke
menit-menitnya. Saya juga termasuk orang yang tepat waktu. Prinsip saya, lebih
baik datang lebih cepat daripada terlambat. Ketinggalan pesawat tidak pernah ada di kamus saya, hingga kemarin.
Bis damri jurusan Cikarang – Bandara yang saya naiki baru
saja keluar dari pintu tol Cikarang Barat dan langsung terhenti. Jalan merayap
dengan pergerakan yang sangat tak berarti. Pukul 3 sore bis
tersebut berangkat dari halte, tapi ketika jam tangan saya sudah menunjukkan
pukul 5 sore, bis tersebut belum lagi melewati Cibitung, yang jaraknya
hanya satu pintu tol dari Cikarang Barat. Normalnya, jarak tempuh ke bandara
hanya sekitar 3 jam perjalanan, sudah termasuk macet ringan.
Saya yang tadinya membaca buku dengan tenang kemudian mulai gusar
dan rutin melirik jam tangan. Pesan singkat saya kirimkan ke Andara, teman saya
yang akan terbang bersama ke Kuala Lumpur nanti malam.
“Dar, kayaknya aku bakal terlambat nih. Macet banget ngga
gerak, gimana yah? Plis bantu pikirin plan B”
Gara-gara macet yang tidak biasa ini, seluruh rencana
piknik ke Kamboja yang sudah saya susun bisa gagal seketika. Karena tidak hanya harus mengejar
penerbangan ke Kuala Lumpur jam 9 malam hari itu, saya juga harus mengejar
penerbangan ke Phnom Penh di jam 7 pagi esok harinya. Dan tidak ada flight pagi hari ke Kuala Lumpur yang jam tibanya sebelum penerbangan saya ke Phnom Penh.
Penumpang di bis mulai terlihat gusar, beberapa mulai pasrah
karena jadwal penerbangannya yang lebih awal, dan sudah tidak ada harapan lagi.
Di sebelah saya ada seorang Bapak berkebangsaan India yang sudah lama tinggal
di Cikarang. Josh namanya. Dari awal kami lumayan banyak mengobrol karena ternyata beliau juga suka
piknik dan juga pernah pergi ke Kamboja. Saya yang duduk di dekat supir
kemudian mulai terpikir sebuah ide gila.
“Pak, kalau saya ngojek ke Bandara kira-kira mungkin ngga
ya?” tanya saya ke supir bis Damri.
“Cobain aja, Mbak. Mbak mau ngojek? Kalau iya saya keluar
tol Tambun di depan.” jawabnya.
Josh ikut nimbrung.
“Saya rasa itu ide yang bagus Mbak, kamu bisa coba ngojek ke
Bandara. Kamu harus kejar dan berusaha maksimal.”
Saya bimbang. Dan makin panik. WhatsApp tak henti berbunyi.
Pesan masuk dari Mama, Andara, dan teman-teman lain yang juga ikutan panik.
“Tapi kamu harus ingat satu hal. Ini pesan Baba saya, kamu
boleh mengejar sesuatu, tapi pada akhirnya kalau sesuatu itu nggak kamu
dapatkan, jangan terlalu bersedih ya. Jangan berlarut-larut. I believe that God
always has another plan.”
Saya mengamini. Mobil-mobil di jalan tol masih terlihat
anteng dan nggak bergerak. Saya jadi banyak berkhayal. Seandainya bis ini bisa
terbang. Seandainya Indonesia bisa mengatasi problematika membludaknya
kendaraan bermotor. Seandainya Soekarno-Hatta punya moda
transportasi yang memadai seperti kereta api di bandara Kuala Namu, Medan.
Setelah kontemplasi saya yang nggak membawa saya
kemana-mana, akhirnya saya pun memutuskan untuk ngojek dari Tambun ke Bandara.
Waktu sudah menunjukkan jam setengah 7 saat itu. Dan saya harus sedikit memelas
ke abang-abang ojek yang ada di sana. Mungkin mereka pikir saya sudah gila
memutuskan untuk naik ojek ke Bandara yang jaraknya kurang lebih hampir 60 km
itu.
“Ayolah, Bang. Tolongin saya. Kalau nanti emang gak keburu,
saya gak akan nyalahin Abang”. Mohon saya.
Setelah tawar menawar dan pasang muka super memelas,
akhirnya ada satu abang-abang yang bersedia mengantarkan saya ke bandara.
Dengan harga 250 ribu yang pada akhirnya berhasil saya tawar jadi 200 ribu.
Dan perjalanan ngojek ke Bandara juga tidak bisa dibilang
mudah. Karena ternyata, jalan biasa juga macet parah. Abang ojek dengan lihai menyelip
kanan dan kiri namun pada akhirnya kami tetap dipertemukan dengan deadlock di
pinggir Kalimalang, hampir Cawang. Tampaknya ada banjir. Kendaraan mulai berhenti dan parkir, tak bergerak. Jam tangan saya
menunjukkan pukul 8 malam. Nyaris hopeless, mau nangis tapi nggak bisa juga. Saya cek HP yang sedaritadi saya simpan di tas.
"Kamu nggak boleh berhenti berusaha!", bunyi WhatsApp seorang teman.
Akhirnya saya iseng buka menyalakan GPS, dan membuka Google Maps. Ternyata harapan itu masih ada. Ada jalan lain! Dengan sigap saya suruh abang ojek putar balik lalu lewat jalan yang saya pandu lewat Google Maps. Dengan segera saya dan abang ojek membentuk teamwork yang baik. Saya navigator, abang ojek konsen menyetir ngebut.
"Kamu nggak boleh berhenti berusaha!", bunyi WhatsApp seorang teman.
Akhirnya saya iseng buka menyalakan GPS, dan membuka Google Maps. Ternyata harapan itu masih ada. Ada jalan lain! Dengan sigap saya suruh abang ojek putar balik lalu lewat jalan yang saya pandu lewat Google Maps. Dengan segera saya dan abang ojek membentuk teamwork yang baik. Saya navigator, abang ojek konsen menyetir ngebut.
Pada akhirnya, saya sampai di Bandara dengan selamat. Jam 9
lebih 10 menit. Andara bilang kalau pesawat di-delay jadi saya masih merasa
punya harapan. Permasalahan berikutnya muncul, ternyata saya nggak punya uang
cash 200 ribu. Ubek-ubek tas hanya ada 150 ribu dan akhirnya saya bayar abang
ojek dengan 150 ribu rupiah plus 10 US Dollar. Untungnya si abang mau. God bless Mas
Aris, tukang ojek yang paling baik yang pernah saya temui.
Selesai urusan dengan Mas Aris, saya lari kayak orang
kesetanan ke check-in counter. Dannnn saya nggak boleh terbang. Karena
web-checkin saya yang nggak terdaftar di sana. Screw the system! Super kecewa rasanya, tapi akhirnya saya bisa berbesar hati untuk menerima
kenyataan. Setelah marah-marah terlebih dahulu, sih. Selama ini saya lumayan sering
mengalami delay dari Lion, bahkan sampai berjam-jam tanpa kompensasi apa-apa,
dan saya tidak pernah protes. Ketika saya telat (dan harusnya mereka tau situasi
jalanan Jakarta yang saat itu lagi ngga banget macetnya), saya nggak boleh
terbang padahal pesawatnya delay, rasanya kayak dikhianati banget.
Saya telpon Andara, dengan maksud menyuruh dia boarding
duluan, karena teman kami satu lagi, Dhea, yang berangkat dari Medan juga sudah
boarding ke Kuala Lumpur.
“Kayaknya aku juga ditinggal deh, Mir”
Well, shit happens here.
Dara yang sudah check-in, sudah lewat imigrasi, dan bahkan
udah boarding ditinggal oleh pesawat. Karena kabar terakhir dari petugas Lion
yang mengatakan bahwa pesawat di-delay 15 menit, Dara pun keluar dari waiting
room untuk melihat saya. Tak lupa meninggalkan nomer HP ke petugas untuk
dihubungi nantinya ketika boarding. Tapi pada akhirnya pesawat terbang, tanpa
pengumuman di speaker pengeras suara, tanpa pemberitahuan ke penumpang yang
sudah tercatat. Sungguh aneh. Biasanya jika penumpang sudah check-in dan belum
boarding, harusnya kan dicariin, lewat pengeras suara. But well, ini Lion. If
you know what I mean.
Setelah adu argumen dengan petugas Lion, akhirnya mereka
minta maaf dan akan mengganti penerbangan kami ke besok hari, di jam 9 pagi.
Tapi masalah timbul karena kursi yang tersedia hanya tinggal 1 kursi saja. Kursi
itu untuk Andara, dan saya masuk ke waiting list. Penerbangan Kuala Lumpur –
Phnom Penh kami yang jam 7 pagi sudah pasti hangus. Akhirnya kami membeli tiket
lagi Kuala Lumpur – Phnom Penh untuk jam 3 sore di hari yang sama. Karena tidak
ingin gambling, maka saya membeli tiket baru Jakarta – Kuala Lumpur di jam yang
sama dengan maskapai yang berbeda. Air Asia idolaku!
Positifnya dari ketinggalan pesawat, saya bisa bertemu
Luqman, sahabat saya yang juga ditinggal pesawat ke Semarang karena macet. Kami
ngemper dan ngobrol cukup lama di Bandara sampai akhirnya dia memutuskan untuk
pulang karena flight barunya ke Semarang masih besok siang. That was a good talk, if I may say.
Kami pun bermalam di Musholla. Terbangun oleh ramainya orang yang akan sholat Subuh.
Ngemper, nulis jurnal, dengerin album baru Sufjan Stevens - Carrie & Lowell yang nenangin banget.
Jam 9 pagi,
Dhea sudah sampai di Phnom Penh ketika saya dan Andara
boarding ke Kuala Lumpur.
Kami terbang dengan lancar menggunakan pesawat yang berbeda. Pada akhirnya saya dan Andara bertemu lagi di Kuala Lumpur, lalu
terbang ke Phnom Penh. Dan akhirnyaaaa.. jadi juga piknik!
When you're upset, eat Famous Amos.
Dat precious expensive boarding pass.
Phnom Penh! Tuktuk ke hostel.
Dan akhirnyaaa pertemuan haru biru ala termehek-mehek (lebay) dengan Dhea yang udah super khawatir bakal solo trip. Hehehe.
Tadinya di damri saya sempat mikir akan membatalkan piknik
ini jika terlambat karena situasi keuangan yang memang sedang pelik. Namun
setelah menerjang kemacetan dengan ojek dari Tambun ke Jakarta, rasanya kok
sia-sia banget kalau saya pulang dengan tangan hampa. Karenanya saya dan Andara
sepakat impulsif untuk membeli tiket lain. Karena the show must go on! Piknik
ini sudah kami tunggu-tunggu sejak lama sekali. Kerugian yang saya derita memang
cukup besar, sekitar 2 kali lipat dari total tiket PP yang sudah saya book
sekitar 2 bulan yang lalu. Tapi, rasanya semua terbayar dengan semua cerita dan
pengalaman di piknik kemarin.
Dan yang terpenting, kejadian ini mengajarkan saya untuk menerima kenyataan. Sepahit apapun itu, dengan lapang
dada. Karena selalu ada jalan keluar. Selalu ada cerita. Dan selalu ada makna
di baliknya.
Semoga Jakarta bisa segera berbenah. Kalau enggak, terpaksa deh tiap mau piknik, H-1 flight harus berangkat ke bandara. Meh.
semoga ke luar negeri segera tersedia dari Halim haha
ReplyDeleteSemoga Soekarno - Hatta segera punya kereta api cepat.
Deletelagi nyari info tentang kamboja mir, kejar2an ama pesawat yah, jadi ikutan dagdigdug serr.. hahaha tapi tenang aja mir, juli tahun ini konstruksi kereta cepat ke soetta lagi dibangun kok. mari kita berdoa agar proyeknya cepet beres!
Deletewaaah mau piknik ke Kamboja ken?
DeleteDramanya warbiyasa, bisa dibuat film itu :)
ReplyDeleteBisa, Gas. Nanti yang meranin aku Dian Sastro. Hahaha
DeleteKlo gitu aku jadi tukang ojek ga apa-apa deh, tapi scene pas nganter ke bandara dibanyakin...ngehehe
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteJkt macetnya ga bisa di sangka2 emang mba mir. mending inep bandara deh kalo udah hujan badai. daripada daripada soalnya.
ReplyDeleteBut thank God sampe Phnom Penh akhirnyaa :)
Waduh, aku harus nginep gimana sza, flightku jam 9 malem. Hahaha. Luarbiasa deh emang.
DeleteIya, Alhamdulillah :)
luar biasa, haha
ReplyDeletebtw, golongan darahnya A ya mbak?
Hahaha. Bukan. Saya O dan Libra (apeu) =))
Delete