Dieng, di Waktu yang Salah

Meskipun Dieng itu adalah salah satu tujuan wisata yang cukup dekat, gampang dijangkau, dan sangat populer, tapi saya harus mengakui kalau saya belum pernah ke sana, sampai Mei 2015 kemarin. Cupu abis, ngakunya tukang piknik tapi ke Dieng aja belum pernah. Selalu ada saja alasan yang bikin saya gagal mengunjungi dataran tertinggi di Pulau Jawa ini.

Di liburan long-weekend Mayday 2015 kemarin, akhirnya tiba juga kesempatan saya untuk mengunjungi Dieng. Kesimpulan yang bisa saya dapatkan di perjalanan piknik kemarin adalah, hindarilah piknik di saat long-weekend ke tempat-tempat yang populer dan gampang dicapai.

Dimulai dari perjalanan super macet Cikarang - Kampung Rambutan, yang meski sudah disiasati dengan naik kereta ekonomi ke Stasiun Jatinegara, tetap saja harus berdiri 2 jam-an di busway ke Kampung Rambutannya. Karena macetnya Jakarta yang nggak kira-kira saat itu, seluruh anggota geng piknik baru terkumpul lengkap jam 10 malam di Kampung Rambutan. Bis yang tersisa adalah satu bis yang sempit banget tempat duduknya tapi murah banget. Kampung Rambutan - Purwokerto tiketnya 85 ribu rupiah saja!

Sepertinya semua orang sudah terlalu penat untuk hidup dan tinggal di Ibukota, sehingga ketika ada celah untuk bernafas dan berlibur sedikit, semuanya langsung buru-buru berbondong-bondong meninggalkan Jakarta. Macetnya ya Tuhan! Dari Kampung Rambutan sampai ke Cikampek padat merayap. Dan akhirnya setelah perjalanan sekitar 17 jam yang bikin kaki dan pantat kebas, kami pun sampai di Purwokerto. Bahkan sebelum sampai di Purwokerto, kami langsung ubah rencana dan impulsif booking tiket kereta untuk pulang ke Jakarta. Gak sanggup rasanya kalau harus pulang via jalur darat lagi.

Dari Purwokerto, masih harus naik bis lagi selama 3 jam ke Wonosobo. Dan dari Wonosobo butuh waktu sekitar 1 jam naik mikro bis ke Dieng. Akhirnya setelah perjalanan yang sangat panjang, kami sampai di Dieng.

Hore!
Tapi, tunggu.
Ini gak salah? Orang semua isinya.

Rame. Kayak cendol.

Ternyata benar, semuanya ingin berlibur. Bahkan penginapan rata-rata penuh, dan akhirnya kami terpaksa menginap di rumah salah seorang warga yang disewakan.

Sore itu kami menghabiskan waktu dengan makan mie ongklok (makanan khas Dieng) lalu jalan-jalan ke Candi Arjuna sambil ngemil tempe kemul anget.

Jalan menuju Dieng


Mie Ongklok

Mendung

Candi Arjuna


Malem-malem minum Purwaceng biar anget.

Besok paginya kami bangun sekitar jam 4 pagi untuk melihat sunrise di Bukit Sikunir. Cuaca mendung sedikit gerimis, tapi kami semua tetap semangat mendaki dengan sedikit harap. Tapi ternyata kabut semakin tebal, mataharinya gak keliatan. Semakin pagi, orang-orang semakin ramai. Saya sampai khawatir si gunungnya bakal rubuh karena kebanyakan orang. 



Lautan cendol manusia.

Ya gitu deh.

Satu hal yang bikin saya kesal banget pas turun dari Sikunir, traffic pas turun padat banget dan sampai macet gitu. Usut punya usut ternyata yang bikin macet adalah beberapa orang yang salah kostum. Ada yang pakai sendal jepit, malahan ada juga yang pakai sepatu ber-hak tinggi. Jadinya mereka-mereka yang salah kostum itu sedikit banyak menghambat arus orang lain yang ingin turun.

Huvt.


Dari Sikunir, kami mengunjungi beberapa spot wisata di sekitaran Dieng. Highlight-nya adalah pemandangan telaga warna dari atas Bukit Sidengkeng. Sepi, tidak terlalu ramai, pemandangannya kece (meski agak mendung).

Telaga warna dari atas Bukit Sidengkeng.



Kawah Sikidang

Pose wajib

Begitulah. Sepertinya lain kali harus kembali lagi ke Dieng saat cerah, lalu mendaki Prau sekalian.

5 comments

  1. "Lain kali" nya pas bulan puasa aja... :D

    ReplyDelete
  2. mba Mira mampir kerumah dong kalo main kesana lagi hihi

    ReplyDelete
  3. Saya ke sana saat bulan puasa, enak sepi banget, bule juga bisa diitung yg berkunjung ke sana saat jalan2 ketemu terus. Seakan-akan dunia sempit (emang cuma di dieng aja kelilingnya hha) cuma harus nahan haus dan lapar hihi

    ReplyDelete