Singgah Super Kilat di Vientiane


Seperti yang sudah diceritakan secara singkat di postingan sebelumnya, kunjungan kami di ibukota Laos ini hanya sebentar saja. Penyebabnya saat browsing sebelum berangkat, objek wisata di seputar Vientiane tampak tidak terlalu menarik untuk kami. Kebanyakan kuil dan monumen-monumen gitu deh. Karena kami anaknya NakAl (nak alam) banget, bawaannya emang males ke kuil dan udah pengen cepet-cepet main air di Vang Vieng. Jadilah kami memutuskan untuk tidak menginap dan langsung berangkat ke Vang Vieng begitu sampai di Vientiane.

Tadinya sih rencananya begitu landing, kami pengen singgah di satu-satunya co-working space di Laos, yang berdasarkan penampakan foto-foto di web-nya lebih mirip warnet jadul gitu. Maklum, peserta piknik kali ini adalah anak-anak geek penggiat start-up (hahahaha penggiat). Terutama kakak-kakak dari limakilo, aplikasi karya anak bangsa yang kemarin menang hackathon, yang buat beli komoditas langsung dari petani, yang kemarin sempet digadang-gadangkan oleh Pak Jokowi gitu deh. Eaa promosi. Tapi berhubung insiden dideportasi-nya Whe yang bikin shock dan bikin itinerary jadi molor, kami juga jadi hilang nafsu buat mampir-mampir di Vientiane. Kayak ada yang hilang gitu gara-gara Whe nggak ada di samping kita lagi :( #lebay

Sehabis beli sim card dan ambil duit di ATM di bandara, kami langsung pesen taxi buat ke terminal bis. Cuma ada satu operator taxi di bandara (nggak tau kalau keluar dari bandara sedikit ya). Harganya dipatok 57.000 Kip buat ke pusat kota, yang sebenernya deket banget dari bandara. Kami sedih kayak tertipu gitu, tapi karena nggak ada opsi lain dan males mikir, yaudah kami naik aja sambil sedih meratapi kepergian teman kami dan sedih melihat suasana kota Vientiane dibalik jendela taxi. Kesan pertama : BERDEBU, PANAS, SURAM, SEPI, hawanya militer banget, nggak ada bagus-bagusnya lah pokoknya. Kami bilang ke supir taxi buat anterin kami ke terminal karena kami mau beli tiket bis untuk ke Vang Vieng. Nggak lama kemudian, kami diturunin di salah satu perempatan gitu dan dia bilang "oke, udah nyampe". Kaget karena nggak ada tanda-tanda terminal ataupun loket jualan tiket gitu, tapi dia kekeuh kalau kami udah nyampe. Dan kami pun turun...

Terminal, katanya

Ternyata bener, di bawah pohon rindang itu ada seorang bapak yang jualan tiket untuk ke Vang Vieng. Saatnya mengerahkan segala kemampuan berbahasa tarzan dan bahasa kalbu yang kamu miliki karena bapaknya nggak begitu mengerti bahasa Inggris. Akhirnya kami beli deh 3 tiket mini van ke Vang Vieng seharga 70.000 Kip untuk 1 orang, itu juga udah hasil nawar ngotot tapi belakangan kami tau kalo harga sebenarnya itu cuma 60.000 Kip. Kesel. Kami juga curiga kalau supir taxi-nya dapet "persenan'" juga dari tiket itu, soalnya abis itu supir taxinya nongkrong ngobrol akrab sama si bapak. Keliatannya di Google Maps ada juga terminal bis gede tapi letaknya agak jauh dari kota. 


Kami masih punya waktu sekitar 2 jam sebelum van berangkat ke Vang Vieng. Daripada bengong kami pun memutuskan untuk jalan-jalan sedikit di Vientiane. Tujuan utama kami (satu-satunya tujuan sih) adalah Patuxay Monument, yang katanya mirip Arc De Triomphe-nya Paris. Karena Laos dulunya adalah jajahan Prancis, mungkin dua monumen ini ada hubungannya. Monumen ini iconic banget jadi kayaknya harus mampir lah barang se-selfie dua-selfie di sini. Oiya sebenarnya persis di sebelah "terminal" ada Lao National Museum, yang sayangnya saat itu lagi tutup (waktu itu lagi jam makan siang). 

Jalan kaki menyusuri Vientiane

Vientiane kotanya kecil sekali, setidaknya terlihat dari pusat kotanya yang suasananya mirip dengan... Semarang, eh Semarang kebagusan deng. Purwokerto lebih tepat kayaknya. Jalanannya kecil, sepi, dan gak ada macet. Satu-satunya yang saya kagumi adalah trotoarnya yang masih tepat guna dan lumayan nyaman untuk dipakai berjalan kaki. Bendera negara Laos disandingkan dengan bendera lambang komunis terlihat di depan hampir setiap bangunan.





Jarak dari Lao National Museum ke Patuxay Monument sebenarnya cuma sekitar 1.7 km. Tapi karena di Vientiane mataharinya sepertinya ada 9, kotanya yang berdebu, beratnya carrier yang harus kami bawa, dan harga sewa tuktuk yang mahalnya nggak masuk akal sehingga kami harus berjalan kaki, perjalanan kali itu jadi luar biasa berat. Seperti perjalanan Kera Sakti mencari kitab suci ke Barat. #elapkeringet

Finally, sampe!

Oh jadi gini aja Patuxay? #dikeplak

Yang tengah jaim amat.

Ga butuh waktu lama di Patuxay, kira-kira 10 menit doang untuk foto-foto. Teriknya matahari dan debu-debu yang beterbangan membuat kami nggak pikir panjang langsung memutuskan untuk cabut dan cari makan di tempat yang ada AC-nya untuk ngaso-ngaso sambil nunggu mini van ke Vang Vieng berangkat. Kali ini kami nyerah dan ngerelain duit 25.000 Kip melayang ke supir tuktuk untuk balik ke Lao National Museum. Pas di seberang museum ada The Pizza Company yang terlihat adem, kami pun langsung mampir. We deserve pizza dan AC setelah cobaan yang menghadang di Vientiane! #turismanja

 Nyerah dan naik tuktuk.

Rasanya mirip pizza hut-nya Indonesia.


Akhirnya waktu keberangkatan ke Vang Vieng pun tiba. Mini vannya ternyata lumayan enak. Penumpangnya hanya rombongan kami ditambah satu rombongan lain dari Korea yang anggotanya kalau gak salah cuma 3 orang. Hore, bisa selonjoran!

Mulai ramai karena ada mini van yang baru datang.

 Penampakan mini van-nya.

Sepi dan adem!

Selamat tinggal Vientiane yang panas dan berdebu, sampai bertemu di Vang Vieng kota party (yang panas dan berdebu juga)!

2 comments

  1. Whehehehehe tuh kaaaaaaan ada yang sama kayak ayeee... bener bener bener... dulu di Vientiane rencana niat nginep 2 malam 3 hari. Lah di hari pertama semua tujuan kelar dijabanin pake rentalan sepeda onthel. Nggak sampek setengah hari kelar semua. halah. Mall yang katanya satu-satunya itupun dari lantai satu sampe atas pun semuanya jualan ems-emasan. Daripada lempeng nggak ngapa-ngapain balik langsung hehehe.

    ReplyDelete
    Replies
    1. uwaw dikomen sama blogger kondang!

      hahaha garing yak Vientiane. trus ngga lanjut ke Vang Vieng atau Luang Prabang, mas?

      Delete