Setelah berjalan jauh dari Magome ke Tsumago, kami melanjutkan perjalanan menuju Takayama. Rencananya kami akan naik kereta lokal dari Nakatsugawa station, yang memakan waktu sekitar 3 jam. Menurut perkiraan, kami akan tiba di Takayama sekitar pukul 10 malam. Tapi realita berkata lain; saat itu ternyata kami ketinggalan kereta! Padahal, kami sudah ada di stasiun dan menunggu di peron yang benar. Namun ternyata, kereta ada di peron seberang. Padahal saya dan Junda sempat bercanda kenapa kereta di peron seberang itu tidak jalan-jalan. Setelah menerima kenyataan yang pahit dengan lapang dada, mau gak mau kami harus naik kereta berikutnya. Akibatnya, hampir tengah malam kami baru sampai di Takayama.
Snowy Takayama
Saat kami tiba, stasiun sudah sepi. Apesnya lagi, stasiun di Takayama tidak menerima pembayaran dengan IC Card seperti Pasmo / Suica. Jadi lah kami harus membayar dengan uang cash, yang jumlahnya cukup banyak. Setelah selesai urusan pembayaran tiket, kami keluar stasiun dan berjalan menuju hostel yang letaknya tidak terlalu jauh. Angin dingin yang menusuk hingga ke tulang menyambut kami. Rasa-rasanya ini adalah suhu terdingin yang kami rasakan selama di Jepang.
Lobi hostel yang hangat dan nyaman
K's House, hostel tempat kami menginap, tidak mempunyai resepsionis 24 jam. Namun berhubung kami sudah memberi kabar bahwa kami akan datang terlambat, hostel memberikan amplop berisi surat tentang instruksi check-in, sehingga kami bisa check-in mandiri. Hostel di Takayama ini adalah penginapan paling mahal kami selama di Jepang, berhubung Takayama lumayan populer di kalangan turis-turis. Meskipun begitu, fasilitas yang didapat sangat setimpal dengan harga yang dibayar dan kami suka sekali dengan hostel ini. Letaknya gak jauh dari stasiun dan pusat keramaian Takayama, ada rental sepeda, bersih, dapurnya luas dan lengkap sekali, dan yang paling kami suka, ada matcha dan hojicha (roasted green tea) gratisan yang sangat membantu kami untuk bertahan hidup di cuaca dingin Takayama.
Quality indeed
Berhubung sudah lewat tengah malam saat kami masuk kamar, tanpa babibu lagi kami pun segera terkapar kelelahan di kasur...
lalu tak tersadar dan bangun karena kedinginan.
lalu tak tersadar dan bangun karena kedinginan.
Ternyata hari sudah pagi, dan ketika saya buka jendela kamar, salju sedang turun! Indah sekali.
Pantesan kayaknya tadi malam heater di kamar jadi tidak terlalu terasa. Salah satu keuntungan pergi ke Jepang di awal Maret, kita masih punya kesempatan untuk merasakan salju di daerah-daerah tertentu, dan juga melihat beberapa pohon sakura yang mekar, meskipun belum full-bloom.
Hari itu kami tidak tergesa-gesa bangun dari tempat tidur, karena memang berniat untuk santai-santai seharian, berhubung kemarinnya sudah capai jalan kaki dan keesokan harinya berencana untuk day-trip ke Shirakawa-go. Plan kami hari itu cuma keliling-keliling kota dan makan kari enak yang kata Junda lumayan ngetop di TripAdvisor. Dingin-dingin gini makan kari yang ngebul sangat terdengar enak dan nyaman di perut~
Pagi itu kami sarapan dengan makanan khas turis kere, yaitu makanan dari konbini, dilengkapi dengan teh gratisan dari hostel. Junda tiba-tiba ngajakin saya trekking lagi di Takayama, yang langsung saya tolak mentah-mentah berhubung kaki ini masih meronta kecapean. Setelah makan dan berberes, kami langsung keluar dan mendapati bahwa salju masih turun.
Saya langsung suka dengan Takayama karena relatif sepi dan nuansa tradisional Jepangnya masih kental terasa. Mungkin ditambah lagi karena salju yang turun menambah kesyahduan. Saya dan Junda berjalan tak tentu arah menyusuri jalanan dan tiba-tiba salju yang turun semakin deras.
Let it snow!
Junda, yang ngakunya mantan anak North London rupanya kedinginan dan mengajak saya putar balik ke hostel. Namun akhirnya saya mengajak Junda untuk ke supermarket dan membeli suatu benda dengan teknologi canggih bernama heat-pack. Benda ini bentuknya mirip kayak bulir-bulir styrofoam di dalam sebuah kantung, tapi bisa memancarkan panas. Junda mengantongi benda ini di kantong jaketnya dan mendadak langsung senyum sumringah ga jadi pulang hahaha.
Tanpa disadari, kami berjalan mulai menjauh dari kerumunan menuju ke kawasan rumah penduduk, lalu mulai menanjak ke atas bukit. Saya di sini mulai sadar, kalau sedari tadi Junda sedang menggiring saya pelan-pelan untuk trekking ke hutan di atas bukit. Lumayan licik juga caranya, berhubung saya selalu sibuk motret sementara Junda yang bertugas sebagai navigator. Tapi berhubung jalannya santai dan pemandangannya juga bagus, akhirnya saya mau juga ikutan trekking.
Kami sampai di atas bukit dengan pemandangan kota Takayama yang ternyata dikelilingi pegunungan yang putih berselimut salju. Di atas sini, ternyata saljunya lebih numpuk. Semua pohon-pohon terlihat putih, rasanya kayak lagi bulan Desember di Narnia. Trekking di Takayama ini tidak semelelahkan di Nakasendo sehari sebelumya, mungkin karena masih di kota-kota juga ya. Yang jelas kami masih bertemu banyak pejalan kaki lain.
Henlo, friend?
It's all white!
Tanpa terasa kami sudah berjalan mengitari bukit melewati hutan, perkebunan sayur, rumah-rumah lucu di samping sawah, dan kembali lagi ke kota Takayama. Perut sudah mulai lapar dan menagih nasi kare yang tadi dijanjikan. Tanpa babibu lagi, kami langsung menuju Jakson kare yang tempatnya tidak jauh dari hostel.
Begitu kami masuk, bau khas kare yang enak langsung menyambut kami. Sesuai klaimnya Junda, wangi karenya saja sudah pantas menyandang gelar legend. Pelayan langsung menunjukkan kami ke tempat duduk yang tepat di depan koki yang sedang mengurusi sepanci besar kare, rasanya kami sudah tidak sabar ingin langsung ngabisin satu panci penuh.
Tapi tiba-tiba pelayannya datang lagi ke kami, lalu bilang,
"Permisi, masakan kami di sini mengandung lemak babi, apa kalian boleh memakannya?"
Ekspresi kekecewaan dari muka kami sepertinya sudah sulit disembunyikan, Junda seperti berharap dia salah dengar karena dia berulang kali menanyakan balik ke mba-mba pelayan tersebut. Si mba pelayan mengulang dengan bahasa Jepang, lalu dilanjut dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.
Setelah yakin kalau kami tidak salah dengar, kami keluar dari restoran dengan perasaan kuciwa yag mendalam. Saya yang sudah kebayang-kebayang kare dan sudah terlanjur sakaw langsung minta pertanggungjawaban Junda. Akhirnya, setelah dia cari-cari restoran kare lain, ketemulah satu tempat kare, yang ternyata, tak lain dan tak bukan adalah Coco Ichibanya. Itu mah di Jakarta juga ada, di kantor saya juga tinggal turun ke mall di bawah, ngapain jauh-jauh ke Takayama. Ditambah lagi ternyata tempatnya cukup jauh dari hostel. Tapi karena sudah lapar dan cuma mau makan kare, yaudah saya jadinya mau ke Coco Ichibanya. Karena dari hostel bisa sewa sepeda, kami langsung mencoba fasilitas ini, jadi setidaknya tidak terlalu cape ke sananya.
Tapi tiba-tiba pelayannya datang lagi ke kami, lalu bilang,
"Permisi, masakan kami di sini mengandung lemak babi, apa kalian boleh memakannya?"
Ekspresi kekecewaan dari muka kami sepertinya sudah sulit disembunyikan, Junda seperti berharap dia salah dengar karena dia berulang kali menanyakan balik ke mba-mba pelayan tersebut. Si mba pelayan mengulang dengan bahasa Jepang, lalu dilanjut dengan bahasa Inggris yang terbata-bata.
Setelah yakin kalau kami tidak salah dengar, kami keluar dari restoran dengan perasaan kuciwa yag mendalam. Saya yang sudah kebayang-kebayang kare dan sudah terlanjur sakaw langsung minta pertanggungjawaban Junda. Akhirnya, setelah dia cari-cari restoran kare lain, ketemulah satu tempat kare, yang ternyata, tak lain dan tak bukan adalah Coco Ichibanya. Itu mah di Jakarta juga ada, di kantor saya juga tinggal turun ke mall di bawah, ngapain jauh-jauh ke Takayama. Ditambah lagi ternyata tempatnya cukup jauh dari hostel. Tapi karena sudah lapar dan cuma mau makan kare, yaudah saya jadinya mau ke Coco Ichibanya. Karena dari hostel bisa sewa sepeda, kami langsung mencoba fasilitas ini, jadi setidaknya tidak terlalu cape ke sananya.
Kita tidak berjodoh, Jakson
Karenya Coco Ichibanya yang ternyata lebih enak dari gerai yang di Jakarta
Pulang dari Coco Ichibanya, kami mampir dulu ke Valor Supermarket untuk berbelanja perbekalan. Valor merupakan chain supermarket dengan harga murah yang sebelumnya juga pernah kami datangi di Ena. Kami berbelanja bahan-bahan untuk makan malam, plus bekal makan siang untuk day trip ke Shirakawa-Go keesokan harinya.
Setelah kembali ke hostel, kami tanpa sadar ketiduran hingga sore hari. Saya terbangun dan mendapati hari sudah lumayan gelap dan ada lagu seperti lagu kebangsaan yang mengalun dari speaker di penjuru Takayama. Tampaknya itu penanda bahwa jam sudah menunjukkan pukul 5 sore.
Dari review orang-orang, katanya Takayama lebih charming di malam hari, dan ternyata benar. Ketika kami keliling di siang hari, banyak turis-turis berserakan walaupun jumlahnya masih bisa ditolerir. Tapi di malam hari, hampir tidak ada orang sama sekali. Sepertinya kegiatan di Takayama berhenti hingga pukul 5 sore saja. Kami berkeliling sebentar dan mendapati Takayama yang mirip seperti kota mati.
Dari review orang-orang, katanya Takayama lebih charming di malam hari, dan ternyata benar. Ketika kami keliling di siang hari, banyak turis-turis berserakan walaupun jumlahnya masih bisa ditolerir. Tapi di malam hari, hampir tidak ada orang sama sekali. Sepertinya kegiatan di Takayama berhenti hingga pukul 5 sore saja. Kami berkeliling sebentar dan mendapati Takayama yang mirip seperti kota mati.
Tidak ada orang dan dingin menusuk. Eerie sekali.
Cuci baju dulu~ Salah satu pertimbangan kami memilih penginapan adalah fasilitas mencucinya.
Santapan malam di Takayama hasil masakan sendiri: miso soup, toffu curry with cheese and fish cake, plus hojicha gratisan hostel. Enak dan jauh lebih murah dari makan di luar
Malam harinya kami bersiap-siap untuk day trip keesokan hari. Junda cuci baju dulu karena persediaan baju kami sudah mulai menipis (ya berhubung cuma bawa 2 stel aja), sementara saya siap-siapin makan malam plus bekal untuk besok. Kalau sudah masuk dapur yang bersih dan tertata rapi seperti di K's house hostel ini, rasanya jadi pengen masak macem-macem. Saya senang sekali karena piring dan peralatan makan di hostel ini lumayan niat dan bagus-bagus, bikin makanan kita yang biasa-biasa saja jadi kelihatan jauh lebih enak.
Ketika kami sedang makan, ada mas-mas yang sedang ngoding di-common room. Duh mas, kenapa ngodingnya sambil jalan-jalan. Untung Junda sudah saya larang bawa laptop, kalo bawa pasti dia sudah nimbrung ngoding bareng mas-mas tersebut.
sugoooi salju nya bikin takayama jadi lebih kirei~
ReplyDeletebaru tau di takayama ada bukitnya gitu, baca postinganmu jadi pen balik lagi mir