Mengendarai Angin!

Ketinggian merupakan salah satu ketakutan saya. Saya sering merasa gamang dan pusing mendadak ketika berada di ketinggian dalam kondisi tertentu. Misal: lantai teratas mall yang transparan, tangga melingkar tanpa pegangan di jembatan penyebrangan dago. Rasanya pusing dan ingin jatuh ke bawah. Oleh karena ketakutan itu, kemarin saya langsung menolak ajakan Mbak Elly (senior di kantor yang jam terbang travellingnya sudah tinggi sekali) untuk paralayang di Puncak. Ditambah harganya yang lumayan mahal untuk durasi yang pendek, saya langsung berpikir "udah deh, skip kali ini".

Akan tetapi, di hari terakhir konfirmasi paralayang tersebut saya mendadak berubah pikiran. Hal paling utama yang menyebabkan saya ikut adalah fakta bahwa Tommy (yang orangnya songong sekali) ternyata ikut. Saya bisa membayangkan tampang culasnya ketika ia sudah berhasil terbang dan merendahkan martabat saya (haha lebay). Tak ingin Tommy naik level kekecean sendirian, akhirnya saya dan Riwe (yang juga takut ketinggian) memutuskan untuk ikut ditambah hasil bujuk rayu maut Mbak Elly.

merinding ngga sih ngeliatnya

Minggu, 3 Juni 2012, berangkatlah saya bersama 13 orang rekan kantor yang lain menuju Puncak, Bogor. Sayang sekali Riwe tidak bisa ikut karena harus mengurus sesuatu di Jakarta. Di jalan saya melihat paralayang berwarna warni melayang-layang dilangit yang cerah. Tidak, tidak indah sama sekali karena saya mendadak langsung keringat dingin dan mengedarkan pandangan mencari angkot jurusan Cikarang untuk putar balik pulang yang ternyata tidak ada. Makin sampai di atas bukit, saya semakin deg-degan tak menentu melihat orang-orang yang sedang take-off. Prosesnya kurang lebih begini: ada parasut besar yang disentakkan dengan kuat di atas bukit sehingga mengembang.Parasut tersebut diikatkan ke tubuh kita, lalu kita berjalan setengah berlari ke arah jurang yang landai lalu tiba-tiba kaki tidak menapak karena kita sudah terbawa angin. Cukup mengerikan. Untuk orang biasa seperti kita, paralayang hanya bisa dilakukan secara tandem, yang artinya berdua bersama satu orang yang ahli dan berlisensi mengemudikan parasut tersebut. Jika berminat untuk terbang sendirian silahkan mengambil lisensi paralayang seharga 8 juta rupiah untuk 40 kali terbang. Terimakasih.

Menunggu itu sangat-sangat tidak asik. Apalagi menunggu giliran paralayang, rasanya udah ngga karuan melihat teman-teman saya satu per-satu mulai terbang dan countdown menuju giliran saya. Tetapi semua orang komentarnya sama: "asikk mirr.. ga serem sama sekalii.. nagih.. gw di atas malah pengen baca novel saking nyantainya" dsb dsb. Sayang sekali, itu semua tidak membantu. Saya tetap takut.

Tibalah giliran saya. Oke, rasa takut itu harus dilawan. Ketakutan ini harus segera diakhiri. Saya pun bersiap memakai perlengkapan paralayang. Deg-degan perlahan  menguap secara mistis entah kemana, tetapi tangan dan kaki saya mulai dingin. Pesan dari bapak-bapak yang membantu saya bersiap-siap: "mbak, kalau takut ketinggian, nanti pas take-off jangan ngeliat kebawah ya, pandangan lurus aja luas kedepan". Oke, saya catat baik-baik saran tersebut yang ternyata memang sangat membantu.

Senyum maksa. Tangan dingin. Jantung deg-degan hahaha

Mas-mas guide pun mulai mengambil posisi.

take-off position. ready?

"siap mbak.."
"oke mas"
"jangan duduk dulu yah."
"oke mas. ini lari apa gimana mas?"
"jalan biasa aja mbak. rileks"
"oke"
"siap? 1.. 2.. "

Saya berjalan. Pandangan lurus ke depan, fokus ke pemandangan yang indah sekali. Lalu saya mulai tersadar karena tersentak ke atas. Kaki saya mendadak melayang tidak lagi menginjak tanah.

"aaaakk....." Saya mulai berteriak dengan suara tertahan. Terlalu excited (atau nervous?) untuk berteriak.

Sayapun akhirnya terbang dengan parasut biru itu.

Rasanya itu.. Seperti naik pesawat yang terbuat dari angin. Seperti naik ayunan raksasa. Melayang pelan di atas mengikuti angin. Bukit tempat take-off perlahan mengilang.. Mengecil..

"Oke mbak, udah boleh duduk. Tangan pegang di sini"
"Boleh foto gak mas?"
"Silahkan aja.."

GILAA! Ngga percaya rasanya kalau saya sedang terbang. Deru angin sangat kuat. Pemandangan sangat indah. Rasanya kaya lagi bermimpi. Rasa takut akan ketinggian mendadak hilang sama sekali saat itu. Ternyata benar, rasa takut itu ngga ada gunanya sama sekali, ia hanya akan berguna ketika kamu akan melawannya.

Yak berikut laporan arus lalu lintas di puncak yang padat merayap
Kaya lagi ngeliat google maps raksasa

Pendaratan saya smooth sekali. Tiba-tiba saya terbang rendah dan semakin rendah, lalu tau-tau saya sudah terduduk manis di atas rerumputan. Oke benar kata Mbak Elly, kalau yang begini-begini itu jahatnya lebih kejam dari narkoba. Karena nagihh! Namun mengingat bahwa harganya hampir sama dengan tiket pesawat Jakarta-Jogja, jadi mencoba sekali seumur hidup sepertinya sudah cukup demi kesehatan kantong. Body Rafting? Checked. Rafting? Checked. Snorkeling? Checked. Paragliding? Checked. Sedikit demi sedikit berkurang lagi daftar hal-hal yang ingin saya lakukan selama hidup. Dan level kekecean saya langsung naik 50%. Hahahaha. Next: sky diving, maybe? (sok berani)




Spot Landing
Acung landing setelah saya. Pas saya yang landing ngga ada yg motoin -___-

PS: Terima kasih banyak Mbak Rizka sudah meminjamkan kameranya untuk dibawa ke atas sana :)

5 comments

  1. waaaaaahhh.. seruuuu euy.. harus nyobain nih.. makasih infonya mbak. sekali naik berapa mbak? jakarta jogja itu berapa?

    ReplyDelete
  2. hai hai saidialhady.. sekali terbang harganya Rp. 300.000 coba hubungi bang Nixon, contactnya ada di di http://indonesia-paragliding.com/

    ReplyDelete
  3. wwaaaah kereeen....aku pernahnya yg pake speedboat mir. seru juga sih walau agak seram juga krn bawahnya laut. :)) aku au coba yg iniii...:D

    ReplyDelete
  4. PENGEN. Tapi kalo kesana aja doang harganya dua atau tiga kali lipat jogja-jakarta (=___=).

    ReplyDelete
  5. Aaaaaaa pengeeen jugaaak!! :D

    ReplyDelete