Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Buddha, salah satu hal yang menjadi daya tarik Laos adalah upacara pemberian sedekah (biasanya berupa makanan atau hadiah dalam bentuk lainnya) kepada biksu. Upacara ini sering disebut dengan Alms Giving Ceremony. Umumnya berlangsung di pagi buta, di saat-saat menuju terbitnya matahari.
Di Vang Vieng, 2 hari berturut-turut kami melewatkan upacara ini dikarenakan susahnya untuk bangun pagi melawan gravitasi kasur yang lumayan posesif. Saat tiba di Luang Prabang kami langsung membulatkan tekad untuk bangun pagi demi menyaksikan tradisi yang sudah ada sejak dahulu kala ini.
Berdasarkan saran dari mbak resepsionis hotel, kami harus berangkat sekitar jam 6 pagi dan menunggu di perempatan dekat kantor pos dan night market, yang merupakan pusat kota Luang Prabang. Meskipun pada dasarnya biksu-biksu itu akan berkeliling ke seluruh penjuru Luang Prabang, katanya di perempatan itu adalah spot yang paling ramai.
Keesokan harinya, kami pun akhirnya berhasil melawan rasa malas dan sukses bangun pagi, yay! Letak perempatan tersebut tidak begitu jauh dari hotel. Sampai di sana ternyata sudah mulai ramai. Banyak orang dari mulai penduduk lokal sampai turis mancanegara yang duduk lesehan di pinggir jalan sambil membawa makanan yang akan dipersembahkan ke para biksu. Makanan yang dipersembahkan biasanya adalah ketan, dan berbagai makanan ringan seperti snack ber-mecin (hhahaha). Kalau kita ingin ikutan memberikan sedekah, di sana sudah siap banyak penjaja makanan yang menjual makanan dan "spot" untuk duduk. Kami? Nonton aja dari kejauhan.
Tidak menunggu lama, barisan biksu mulai datang dan menghampiri orang-orang yang membawa makanan. Biksu-biksu ini berasal dari berbagai kuil di kota Luang Prabang. Dengan memberikan makanan kepada para biksu, orang-orang Laos percaya bahwa mereka akan mendapatkan berkah spiritual dari para biksu yang menerima pemberian mereka. Keseluruhan proses ritual dilakukan dalam diam, karena sebenarnya para biksu berjalan mengelilingi kota dalam keadaan sedang bermeditasi. Para pemberi sedekah menghormati para biksu dengan cara diam tak bersuara sehingga tidak mengganggu proses meditasi.
Nah, sayangnya kita para turis (termasuk saya) sedikit banyak sudah mengganggu syahdunya ritual ini. Mungkin karena di negara lain (termasuk di Indonesia) ritual seperti ini kurang umum, jadinya banyak yang secara ambisius ingin mengabadikan momennya. Misalnya memotret biksu dengan jarak kurang dari 1 meter dengan menggunakan iPad (iya, yang segede talenan itu), atau bahkan selfie dengan background para biksu. Bahkan pagi itu ada seorang bapak yang (maaf) berkursi roda yang sangat agresif bergerak ke sana kemari dan memotret dengan DSLR nya yang segede gaban, dengan tambahan flash. Pada akhirnya ritual ini jadi lebih mirip kayak parade fashion show. Well, it's not cool. And it made me sad.
Coba bayangkan misalnya kita lagi sholat atau lagi mengaji dan tiba-tiba ada segerombolan orang yang datang dan selfie-selfie dengan agresif. Mengganggu kekhusyukan banget ya pasti. Saya jadi teringat soal upacara perayaan waisak di Borobudur yang juga sempat menuai pro dan kontra soal ramainya turis yang datang ke sana.
Sederhananya sih, tidak ada larangan untuk melihat ritual ini, asalkan kita sendiri mengerti mana yang pantas dan tidak pantas dilakukan. Mari menjadi turis yang baik dan bertanggung jawab dengan cara :
- Berpakaian sopan, karena bagaimana pun juga ini ritual keagamaan
- Menjaga jarak dari para biksu.
- Menjaga suara dan gerak gerik. Let's be invisible for a while.
- Memotret itu boleh, asal dari jarak jauh, dan tanpa flash. Sebisa mungkin buat mereka tidak sadar kalau sedang dipotret.
Mari menjadi turis yang baik!
Setuju! Pas ke Luang Prabang dulu banyak banget pengumuman di restoran-restoran yang ngingetin turis untuk gak motret para biksu terlalu dekat. Sayang banget memang jauh-jauh traveling bukannya memperkaya diri dengan pemahaman mengenai budaya lokal, tapi malah mengganggu jalannya ritual agama dan budaya setempat.
ReplyDeleteYes, mari menjadi turis yang keren dan beretika!
DeleteDisinilah dibutuhkan lensa tele ya kalau mau motret jadi gak perlu terlalu deket sama Biksu2nya
ReplyDeleteBener banget Mbak! hehe.
DeleteThanks for sharing!
ReplyDeleteBesok saya akan bangun pagi, dan berjanji akan menjadi turis yang menghargai kebudayaan lokal Luang Prabang. Thanks for reminder mbak
ReplyDelete