Mengelilingi Aceh Dalam 3 Hari


Seperti tradisi di tahun-tahun sebelumnya (meskipun tahun lalu absen sekali), di lebaran kali ini, kami sekeluarga kembali ke jalanan. Yeayy, roadtrip lagi! Kali ini tujuannya tetap ke Aceh, karena Aceh relatif dekat dan sepi, tidak seperti Sumatera Barat yang kalau lagi lebaran ampun deh macetnya. Kota yang kami kunjungi kali ini adalah Tapak Tuan. Sebuah kota di Aceh Selatan yang letaknya di pinggir pantai.

Rencana awalnya sih kami akan berangkat di hari pertama lebaran setelah selesai sholat dan makan lontong medan, menginap 1 atau 2 malam di Tapak Tuan, lalu kembali lagi ke Medan. Kenyataannya, secara impulsif dalam 3 hari kami jadi benar-benar mengelilingi Aceh! 

Rute perjalanan kami, dari Medan - Tapak Tuan - Banda Aceh - Medan.


Berangkat dari Medan jam 11 siang, kami sampai di Tapak Tuan sekitar pukul 9 malam. Ternyata tidak banyak yang bisa dilihat di Tapak Tuan. Jadinya di pagi harinya setelah selesai melihat makam dan ke telapak kaki Tuan Tapa, tiba-tiba Papa punya ide mendadak untuk pulang ke Medan lewat Banda Aceh.

Selamat pagi dari Tapak Tuan!

Rumah warna warni cantik.

Makam Tuan Tapa

Jalan menuju ke Tapak Tuan Tapa.

Jadi di Tapak Tuan ini ada legenda Tuan Tapa, yang konon tubuhnya besar seperti raksasa. Bisa dilihat dari makamnya yang panjang, dan di pinggir pantai ada bekas jejak telapak kakinya yang juga besar.

Trek bebatuan menuju jejak telapak kaki. Mayan uga.


Pojan yang lagi rajin belajar nulis.

Kota Tapak Tuan dari atas.

Alasannya sih karena malas melewati rute pergi kemarin yang kondisi jalannya lumayan jelek dan sepi kayak nggak ada kehidupan. Ditambah konon katanya jalur pantai selatan Aceh bagus banget karena jalanannya yang mulus dengan pemandangan pantai di sepanjang jalan. Jadi hanya dalam beberapa menit saja, rencana langsung berubah. Kami langsung kembali ke hotel, beres-beres, dan cabut ke Banda Aceh!

Jalanan menuju Banda Aceh, sekitar Meulaboh. Di kiri itu pantai, tapi ketutupan pepohonan pinus.

Ternyata bener, pemandangannya juaraa! Jalannya mulus dan sepi, paling-paling ketemunya rombongan kerbau seperti ini.

Kami sampai di Banda Aceh sekitar jam 10 malam. Langsung cari hotel dan tidur ngelurusin badan yang udah ketekuk-tekuk sepanjang jalan. Besoknya, kami menghabiskan waktu dengan jalan-jalan ke Mesjid Raya Baiturrahman (yang saat itu sedang direnovasi) dan ke Museum Tsunami Aceh.

Sarapan pagi khas Aceh. Nasi gurih (mirip nasi uduk kalau di Jakarta, tapi dengan rempah-rempah yang lebih kompleks) dengan lauk dendeng Aceh. Enaaa~

Mesjid Raya Baiturrahman

Museum Tsunami Aceh.


Museum Tsunami yang didisain oleh Walikota Bandung super gaul, Kang Emil, sepertinya memang menjadi salah satu spot yang harus dikunjungi kalau ke Banda Aceh. Berhubung di kunjungan beberapa tahun lalu museumnya sedang tutup, di kunjungan kali ini gak boleh kelewatan. Kami sampai niat ngantri di depan pintu museum bahkan sebelum  museumnya buka. Tiket masuknya gratis tis tis. Jam bukanya kalau ga salah jam 09:30 teng.



Perasaan saya campur aduk saat mengunjungi museum ini. Sedih sekali rasanya, mengingat kembali bencana besar yang menimpa Aceh ini. Ditambah karena beberapa kerabat dan saudara juga ada yang menjadi korbannya. Di museum ini pengunjung harus mengikuti alur, dimulai dari terowongan gelap sempit panjang yang kanan-kirinya dialiri air deras, yang seolah-olah  mengajak pengunjung untuk merasakan bagaimana rasanya saat gelombang tsunami datang.

Ruang pameran.


Beranjak ke ruang doa, berupa cerobong tinggi yang dindingnya dihiasi nama-nama korban tsunami. Di bagian atas terdapat tulisan Allah, sebagai simbol kalau semuanya akan kembali ke Sang Pencipta. Rekaman Asmaul Husna mengalun sendu di ruang ini. Sedih :(

My thoughts and prayers are with Tsunami's victim :(

Peta Aceh.

Diorama situasi saat tsunami datang.


Setelah puas mengelilingi Museum Tsunami, kami beranjak ke daerah Ulee Kareng. Sebenarnya di Banda Aceh banyak sekali warung kopi, karena memang orang-orangnya punya hobi nongkrong sambil ngopi gitu, tapi yang paling terkenal adalah warung kopi Solong. Khas dari kopi aceh adalah teknik menyeduhnya yang menggunakan saringan panjang dari kain. Menyaringnya juga harus diangkat tinggi-tinggi gitu, katanya sih untuk sedikit menghilangkan kadar keasaman dari kopi. Saya nggak begitu paham perkopian sih, tapi kopinya enak. Nggak asem dan sepintas ada aroma rhum-nya. Abis minum kopi ini saya langsung melek 24 jam, nemenin si Pojan nyetir. Luar biasa.


Ini dia kopi hitamnya. Selain brewing traditional yang pakai saringan, di Solong juga jual kopi yang espresso based gitu. Mereka punya mesin yang modern juga. Kemarin saya juga nyobain cappucino-nya. Dan enak jugaa.


Setelah beberapa jam saja muterin Banda Aceh, kami harus segera pulang ke Medan. Padahal belum puas. Haha. Berangkat dari Banda Aceh jam 11 pagi, kami sampai di Medan sekitar jam 3 pagi keesokan harinya. Karena jalur Banda Aceh - Medan memang relatif lebih ramai.


Mampir di Beureunuen (baca : brenen) membeli emping aceh.

Makan sate matang (khas Aceh) di Lhokseumawe.

Waktu ngeck di peta, jadi lumayan takjub juga sama rute roadtrip kali ini, karena ternyata kami memang benar-benar mengelilingi Aceh! Walaupun di tiap kota mampirnya cuma sebentar-sebentar saja, tapi tetap asyik karena di perjalanan banyak banget yang dilihat.

Dan berhubung saya dan adik saya si Pojan akan merantau ke tempat yang lebih jauh, kayaknya roadtrip kayak gini akan absen dulu tahun depan. Berikut rekaman perjalanan yang dibuat oleh Pojan dan dibantu-bantu dikit oleh saya :D

1 comment

  1. wahh rute berangkatnya juara tuh mba.
    mulai sabulusalam sampai beberapa kilo sebelum banda indah bgt :d
    waktu lunch di tapak tuan, sempat dicerikatan juga oleh warga legendanya TUAN TAPA. dan yang bikin merinding ada yg liat tuan tapa waktu tsunami 2004. #masihmerinding bbrr...konon TUAN TAPA lah yang membantu menghalau (apa ya kata yg tepanya) air tsunami, sehingga tapak tuan tidak separah daerah lain seperti contoh banda walaupun banyak dihalangi pulau.

    ReplyDelete