Shirakawa-go udah lama banget ada di bucket list saya. Awalnya, saya tau Shirakawa-go waktu ngeliat foto salah satu teman saya yang sedang kuliah di Jepang. Fotonya menunjukkan suasana musim dingin di sebuah desa; hamparan rumah-rumah tradisional yang berselimut salju tebal dengan lampu temaram yang menyala hangat. Serene dan dreamy sekali. Saya langsung bertekad akan berkunjung ke sana jika suatu hari nanti kembali ke Jepang.
Ketika Junda menyusun itinerary ke Jepang, saya cuma bilang "aku cuma pengen ke Shirakawa-go aja kok..", yang mana adalah dusta, karena pada akhirnya keinginan saya bertambah banyak. Haha.
Long story short, akhirnya kami bela-belain ke Shirakawa-go saat ke Jepang tahun lalu, meskipun rutenya jadi agak belok jauh dan ongkosnya lumayan mahal. Tapi gapapa, semua demi Mira dan impiannya terhadap Shirakawa-go. Kenapa bisa mahal banget? Karena untuk ke Shirakawa-go kami harus singgah dulu di Takayama. Takayama ini lumayan touristy (ya karena hampir semua yang ingin ke Shirakawa-go biasanya transit ke sini), bisa dilihat dari harga penginapannya yang ternyata paling mahal selama kami ke Jepang kemarin. Dari Takayama, kami masih harus naik bus, satu-satunya transportasi umum untuk menuju ke Shirakawa-go. Bus ke Shirakawa-go ini adalah bus paling overpriced sepanjang sejarah saya naik bus deh kayanya. Harga tiketnya 4,420 Yen (~Rp.650,000) untuk perjalanan pulang pergi. Padahal jarak tempuh dari Takayama - Shirakawa-go gak sampai 1 jam. Berasa mahal banget karena harus dikalikan 2 orang. Dengan bayangan tentang Shirakawa-go yang sudah saya simpan sejak lama ditambah dengan biaya yang lumayan untuk menuju ke sana, saya jadi menaruh ekspektasi terlalu besar untuk tempat ini.
Pagi-pagi sekali kami bangun lalu langsung bergegas ke terminal bus karena kami akan naik bus yang jadwalnya paling pagi. Untung saja kami sudah membeli tiket di hari sebelumnya karena ternyata tiket hanya bisa dibeli in-advance berhubung banyak sekali orang yang ingin ke Shirakawa-go. Sepanjang jalan kami disuguhi oleh pemandangan gunung berselimut salju. Saljunya tampak sudah tipis karena cuaca sudah mulai menghangat, tapi kami tetap berharap agar Shirakawa-go masih berselimut salju.
Sesampainya di stasiun bus Shirakawa-go, kami langsung disambut dengan poster "Bawa pulanglah sampah kalian masing-masing" dimana-mana dalam tiga bahasa; Jepang, Mandarin, dan Inggris. Setelah kami cari tahu, rupanya di sekitar Shirakawa-go ini tidak ada tempat sampah sama sekali, jadi banyak turis yang buang sampah sembarangan. Tidak sabar ingin langsung eksplorasi, kami langsung jalan kaki menuju observation deck yang lokasinya di atas bukit, mumpung masih pagi dan belum terlalu banyak orang. Ada dua pilihan untuk menuju ke observation deck ini, bisa naik bus dari Shirakawa-go bus station atau jalan kaki. Waktu lihat antrian yang nunggu busnya lumayan ramai dan jadwalnya masih lama, yaudah kami jadinya memilih jalan kaki. Lagian kami memang ingin sekalian eksplorasi.
Sesampainya di atas, ternyata perkiraan kami salah, turis-turis sudah mulai banyak mengantri foto di observation deck. Agak susah mencari spot untuk foto tanpa photobomb, jadi mau tidak mau kami harus sabar menunggu sampai orang-orang hilang dari sekitar frame. Memang pemandangan dari observation deck ini adalah yang paling pas kalau mau capture seluruh desa Shirakawa-go dalam satu frame, makanya turis-turis pasti berkumpul di sini.
Akhirnya punya foto yang bagus, tentu setelah ribut dengan Junda yang ngambil fotonya ga fokus lah, kurang ke tengah lah, dsb. Haha.
Kami lumayan lama menghabiskan waktu di observation deck ini karena harus berkali-kali menunggu orang-orang menghilang dari batas frame. Begitu sudah cukup punya stok foto, kami langsung turun gunung untuk lanjut eksplorasi desa lagi. Ternyata tanpa kami sadari, turis-turis makin banyak berdatangan. Yang tadinya menurut kami sudah lumayan ramai ternyata belum ada apa-apanya.
Bayangan saya tentang Shirakawa-go yang damai dan sepi buyar sudah. Kerumunan orang-orang di mana-mana, rumah tradisional ternyata tidak begitu tradisional karena sebagian sudah menjadi toko dan ada mobil dan truk di mana-mana. Setelah beberapa hari belakangan tidak bertemu banyak orang, terutama saat di Nakasendo saat saya dan Junda hanya berjalan berdua saja di hutan yang sepi, rasanya saya langsung lelah sekali melihat kerumunan orang di Shirakawa-go.
Berulang kali saya ngedumel karena kesal Shirakawa-go tidak sesuai bayangan. Tampaknya kami salah strategi juga sih ke sini setelah ke Nakasendo.
Rumah tradisional yang sudah menjadi toko souvenir
Henlo fren!
Jernih banget airnya~
Sisa-sisa salju yang sudah mencair karena suhu sudah mulai menghangat. Di musim dingin pasti indah sekali di sini.
Setelah berjalan kaki tanpa arah, sampai lah kami di jembatan gantung. Ternyata di seberang jembatan ada tempat parkir besar yang sudah dipenuhi bus-bus besar dan banyak mobil. Tampaknya itu adalah parkiran rombongan tour dan kendaraan pribadi. Banyak orang yang menyeberang di jembatan dari parkiran menuju ke kawasan desa. Makin puyeng lah saya. Hahaha. Untungnya di pinggiran sungai ada tempat duduk yang tidak terlalu ramai, jadi kami memutuskan untuk duduk di sana dan istirahat sekalian makan siang.
Tampak kerumunan mobil di seberang sana
Kerumunan orang..
Bekal andalan, nasi, telur dadar, dan tumisan sayur (di Jepang ada stir-fry mix yang tinggal ditumis bareng kecap asin)
Manhole di Jepang biasanya punya desain yang beda tergantung daerah. Di Shirakawa-go gambarnya rumah tradisional sana
Sisa-sisa salju kemarin
Siapa tuh?
Totoro riding the catto bus
Sehabis makan siang kami lanjut jalan-jalan dan mendapati Shirakawa-go yang lebih ramai lagi.
"Overrated banget ih..." ujar saya berulang kali ke Junda yang sepertinya lama-lama bete mendengar saya ngedumel. Haha.
Akhirnya kami memutuskan untuk segera pulang ke Takayama karena jujur udah bingung juga mau ngapain lagi. Begitulah, kadang-kadang ekspektasi kita memang tidak sesuai dengan realita ya..
Tapi memang dasarnya manusia sih, ga pernah puas. Padahal kalau dipikir-pikir, waktu saya lihat-lihat foto lagi saat mau menulis postingan ini, Shirakawa-go sebenernya gak seburuk itu kok. Sepertinya rasa kesal saya lebih ke karena 1) Harga tiketnya mahal banget banget, 2) Orangnya ramai dan settingan desa ini memang udah diperuntukkan buat turis banget, saya jadi kehilangan vibes asli desanya.
But then again, what should I expect? I was also the one who contributed to its crowd. Oh, well.
Waah harga tiket busnya mahal sekaliii :O
ReplyDeleteSaya beberapa kali lihat teman share story soal Shirakawa-Go, dan memang kalau dilihat dari story teman-teman saya tersebut Shirakawa-Go terlihat menarik untuk dikunjungi :D tapi kaget juga kalau ternyata turisnya sampai menumpuk ~ hehehe. However, dari foto-foto yang mba ambil, tempatnya tetap terlihat baguuuus :D
Iyaa, bagus sebenernya.. Tapi ketika motret juga aku harus nunggu timing yg pas biar terlihat ga terlalu ramai sih.
DeleteShirakawa-go ini populer bgt yah.. banyak travel blogger yg udah ke sana.. dan baru kali ini tahu kalau ternyata tempatnya ramai bgt.. kirain desanya masih sepi dan alami, karena itu yg sering ditampilkan di blog-blog lain yg pernah kulihat. Tapi kalau dipikir2, blogger aja udh banyak yg ke sana, berarti ya pasti rame bgt, nggak sempet mikir ke situ sebelumnya wkwk..
ReplyDeleteTapi kalau pemandangannya kuakui bagus sih,, hanya saja menjadi overrated karena terlalu hiruk pikuk dan biaya ke sana yg lumayan mahal kali ya..
-Traveler Paruh Waktu
Iya betul.. hiruk pikuknya tidak sesuai dengan gambaran Shirakawa-go yang ada di bayangan.
DeleteDi foto-foto yang saya post di blog ini pasti tidak terlalu terlihat ramai juga, karena tentu ketika motret saya jadi nunggu timing di mana orangnya tidak terlalu ramai. hehe
iya yah.. nunggunya aja lumayan lama ya kalau mau dpt foto paripurna :D .. kalau nginap di sana baru deh kayanya bisa dpt suasana yg lebih sepi pagi2nya.
Deletetapi tetep aja foto2nya mu cakep banget ih! aku kesana sepi mungkin karena pas ujan terus kali ya wkwkwk
ReplyDeleteSebuah bukti bahwa jangan percaya sama foto! haha thanks ya ken
DeleteAkhirnya ada yang nulis Shirakawa-go dari sudut yang berbeza, sudut yang aku harapkan wkwk. Banyak temen yang ke sana, bilangnya cantik, tapi rame, tapi cantik. Kayak gak ada yang mau mengakui kalau Shirakawa-go ini memang heboh gitu gak tempe kenapa. Tapi yang penting, Totoro bisa naik bus kucing wkwk.
ReplyDeleteIya, somehow jadi kayak tempat yg emang didisain untuk memenuhi hasrat turis2, udah ilang sense aslinya gitu, kebayang kaaan. iya alhamdulillah Totoro bisa naik bus kucing
Deletewahh bagus banget mba..salah satu wishlist ku juga maunya ke Jepang, tapi gatau mau kemana wkwk artikel ini manfaat banget, jadi nambah wishlist daerah yang mau dikunjungi deh hehehe
ReplyDeleteSemoga segera bisa terpenuhi wishlist-nya!
DeleteSepertinya ada beberapa pilihan desa lain di sekitar Shirakawa Go dengan modelan desa yang sama tapi jauh less touristry daripada Shirakawa Go. Ainokura salah satunya. Cuma memang yang paling dikenal orang-orang adalah si Shirakawa Go ini hehe.
ReplyDeleteAnyway foto-fotonya bagus,Mba. Pake lensa berapa ya kalo moto pas traveling kalo boleh tau? 35 mm?
Halo, mas! Iya, sempat kepikiran untuk berkunjung ke Ainokura tapi tiket busnya lumayan mahal juga ternyata. Karena on-budget, jadi terpaksa ke Shirakawa-Go saja. Terima kasih, Mas! Biasanya saya pakai Ricoh GR, fix 28mm. Tapi di postingan ini ada yang pakai 35mm juga di Fuji :D
DeleteWahh kirain aku doang yang bilang shikarawago over ekspektasi, bosenin ga sih, cuma gitu aja ternyata dan rumah-rumah tradisionalnya sudah jadi toko dan restoran. Aku kapan itu kesana malah pusing di shikarawago, rame bener dan yaa biasa aja sih ternyata, sayang uangnya ya :(
ReplyDeleteSempet nulis juga tentang shikarawago disini:
https://www.throughmyeyes.web.id/2021/03/jepang-shikarawago-desa-tradisional.html
Salam kenal!