Aura ibukota langsung terasa jelas ketika kereta kami tiba di stasiun Roma Termini; riuh, ramai, serba tergesa-gesa, sangat berbeda dengan beberapa kota yang telah kami singgahi sebelumnya. Setelah Milan, Venice, Cinque Terre, Florence, dan Pisa, Roma yang merupakan ibukota Italia ini adalah persinggahan kami yang terakhir sebelum kembali ke London.
Hari mulai gelap. Kami bergegas menaruh barang-barang di hostel yang letaknya hanya selemparan batu dari stasiun lalu langsung berjalan kaki menuju ke pusat kota dengan tujuan melihat Colosseum di malam hari. Secara otomatis, saya langsung memasang mode siaga super ekstra di Roma, lebih siaga dari saat saya Milan, berhubung banyak orang yang mewanti-wanti kalau di Roma banyak copetnya.
Setelah berjalan kaki kurang lebih 30 menit, kami sampai di kerumunan super ramai yang ternyata adalah antrian untuk foto di Trevi fountain. At that moment, I knew that I would have a love-hate relationship with this city. Saya suka sekali kota Roma yang indah, kuno, artistik, tapi saya tidak suka dengan kerumunan turisnya yang menggila.
Dari Trevi fountain, kami makan malam murah meriah (3 euro saja!) di Burger King lalu memutuskan untuk naik bus ke Colosseum, berhubung kaki ini sudah tidak sanggup lagi diajak berjalan.
Sesampai di Colosseum, ada keluarga kecil yang menghampiri kami dan meminta pertolongan kami untuk memotret mereka. Keluarga kecil dari Afrika (yang saya lupa nama negaranya) yang kompak memakai jersey AS Roma itu pun langsung otomatis berpose 'peace' sambil nyengir lebar. Rupanya hari itu anaknya berulang tahun yang kedua.
"Thank you! Today is my daughter's birthday!", kata si Bapak.
Tak lama setelah kepergian mereka, hujan rintik-rintik mulai turun. Tidak perlu menunggu waktu lama hingga tiba-tiba volume air yang turun semakin banyak dan mulai menjadi musibah untuk kami yang sudah mulai kekurangan pakaian bersih. Kami menunggu bus yang tak kunjung datang di bawah naungan payung sampai akhirnya memutuskan untuk naik metro. Keputusan yang terlambat, karena sekujur tubuh kami saat itu sudah terlanjur basah.
Keesokan harinya, kami kembali berkunjung ke Colosseum. Hal penting yang harus digarisbawahi, jika kamu ingin masuk ke dalam Colosseum, do book your ticket in advance, online! Berhubung antrian masuk ke Colosseum sangat menggila dan antrian khusus untuk yang sudah punya tiket relatif lebih pendek.
Colosseum adalah salah satu amphiteatre terbesar yang pernah dibangun oleh manusia, dan dibangun pada tahun 70-80 sebelum Masehi. Dulunya bangunan ini dibangun untuk berbagai pertunjukan, termasuk Gladiator games, di mana para gladiator (biasanya adalah budak atau tahanan penjara) akan bertarung melawan gladiator lainnya atau hewan-hewan buas, hingga mati. Yah, kayak yang di film-film gitu deh.
Ternyata, Colosseum itu tidak sebesar yang saya kira
Biasanya, tiket masuk ke Colosseum juga akan berlaku untuk masuk ke Roman Forum, yang terletak bersebelahan dengan Colosseum. Roman Forum adalah museum outdoor yang isinya adalah reruntuhan pusat pemerintahan Roma dulu kala.
Terlepas dari Roman Forum, saya merasa bahwa seluruh kota Roma sendiri adalah museum. Kesan kuno dan antiknya begitu terasa di setiap sudutnya.
Terlepas dari Roman Forum, saya merasa bahwa seluruh kota Roma sendiri adalah museum. Kesan kuno dan antiknya begitu terasa di setiap sudutnya.
Reruntuhan yang indah
Colosseum terlihat di kejauhan
Pantheon, dulunya adalah kuil di masa kekaisaran Roma. Sekarang berubah fungsi menjadi gereja.
Capitoline Hill
Makan siang di dekat Pantheon, lagi-lagi berdasarkan arahan dari TripAdvisor
Saat saya ikut walking tour di Venice, sang guide mengingatkan saya untuk mencoba carbonara saat saya di Roma, karena menurut dia, signature dish dari kota Roma adalah carbonara yang rasanya lain daripada yang lain. Saya dan Dharma yang selalu bertekad untuk makan agak layak minimal satu kali sehari di tiap kota pun langsung browsing untuk mencari tempat makan carbonara enak di Roma.
Taverna del Seminario yang letaknya dekat dari Pantheon ini menawarkan menu set khusus untuk turis. 15 euro saja untuk set komplit : appetizer, dua main course, dessert, dan coperto (pajak). Harga segitu untuk ukuran Roma, why the hell not? Karena biasanya, untuk makan satu primi piatti (main course) di Roma, paling tidak kita harus mengeluarkan uang 10 euro ke atas, belum termasuk pajak (yang biasanya seharga 1.5 euro per-orang).
Saat itu saya tidak memesan minum dengan alasan irit, berhubung saya terbiasa membawa botol berisi air keran kemana-mana. Berbeda dengan di Inggris di mana kita bisa dengan santai minta tap-water untuk minum (gratis dan free-refill), di Eropa daratan hal tersebut biasanya dianggap gak sopan. Jadi, kita harus pesan mineral water yang harganya suka bikin nyesek untuk turis kere macam saya. Maka dari itu saya sering bela-belain gak pesen minum karena toh nanti bisa minum dari botol minum sendiri pas udah keluar dari restoran. #TipsReceh
Appetizer, bruschetta dengan topping tomat dan rocket. Biasa aja.
Carbonara, yang sangat disayangkan ternyata memakai pig cheek alias pipi babi. Mungkin bakal enak banget ya karena kan pipi babi ginuk-ginuk gitu. Berhubung saya turis syariah, jadinya saya minta yang tanpa pork. Rasanya? Enak tapi tidak se-creamy carbonara di Indonesia. Pasta-nya al dente, jadi masih agak crunchy gitu.
Lanjut, piring kedua. Ayam grilled yang super plain dan daun-daunan. Rasa hati ini ingin menambahkan sambal bajak buat dicocol ke ayam.
Ditutup dengan juara pertama, tiramisu. Enak banget ya Allah.
Murah dan kenyang. Dharma pesan wine (yang sebenernya porsi berdua) juga cuma 3 euro saja.
Kami melanjutkan perjalanan menuju ke Vatican, yang merupakan negara terkecil di dunia. Penasaran banget dengan negara ini sejak baca buku-bukunya Dan Brown. Sesampai di sana, kami mendapati antrian bombastis untuk masuk ke St. Peter's Basilica. Antriannya mengular sampai mengitari piazza. Saya dan Dharma langsung melipir karena malas ikut antri berhubung kayaknya kalau kita ikut, antriannya baru akan beres 2 hari kemudian.
St Peter's Basilica
Kami langsung beranjak ke Vatican Museum karena penasaran ingin melihat Sistine Chapel. Sampai di depan museum vatican, kami dicegat oleh mbak-mbak yang sekilas mirip petugas museum tapi ternyata adalah calo tiket tour. Hampir saja kami terjebak untuk beli tiket yang harganya berkali-kali lipat. Oiya, untuk student dengan kartu identitas mahasiswa yang valid dan berumur di bawah 25 tahun, ada diskon 50%. Saat itu saya langsung sedih inget umur karena Dharma bisa masuk dengan setengah harga.
Museum vatican adalah museum terluas dan ter-ramai yang pernah saya datangi. Meskipun ada alur yang jelas di dalamnya, tetap saja tumpukan manusia ada di mana-mana. Sepanjang jalan kita akan terus berdesak-desakan dan jadinya kurang bisa menikmati museum dengan syahdu. Ditambah lagi dengan banyaknya turis-turis bertongsis yang heboh ingin foto di sudut mana pun. Sayang sekali, padahal karya-karya di dalamnya luar biasa indah dan bikin melongo.
Bagian atas yang dilukis tapi menimbulkan kesan 3D. Udah ga paham lagi gimana caranya orang jaman dulu melukis beginian.
Highlight-nya tentu saja Sistine Chapel, yang langit-langitnya dihiasi dengan lukisan karya Michelangelo berjudul The Last Judgement. Sayang sekali para pengunjung tidak diperbolehkan untuk memotret di dalam chapel tersebut. Lukisan yang sukses membuat saya terpana lama, sangking indahnya.
Vatican, di lukisan.
Setelah lelah berkeliling, saatnya makan lagi. Kali ini kami makan pasta (lagi) versi murah. Mungkin mirip kayak mamang-mamang nasi goreng kalau di Indonesia.
Pasta with pesto, mi favorito.
Mushroom pasta.
Antrian di piazza yang mulai menipis menjelang sore.
Air minum gratis di mana pun
Kembali ke Roma dan makan Grom di tempat asalnya. Enak dan murah, makanya suka sedih kalau sekarang liat Grom ada di mall-mall fancy Jakarta.
Perjalanan kami di Italia pun ditutup keesokan hari, pagi buta, ketika bus menuju ke bandara tak kunjung datang sementara kami akan terbang dengan penerbangan yang paling pagi. Ketika bus datang, semua orang berebut sampai akhirnya ada yang kegencet di bagasi bus.
Terima kasih Italia untuk hari-hari penuh pasta dan pizza, sampai saya gak pengen lagi makan pasta selama berbulan-bulan. Hahaha.
Berikut footage yang berhasil saya himpun selama di Italia:
Addio!
Jadi selama di Roma sempet lihat orang-orang yang gelagatnya kayak copet gak? Soalnya salah satu temen saya sampe sekarang agak kurang semangat kalau diajak ke Roma gara-gara dia terlalu banyak denger cerita turis korban copet. Btw baru tau kalau Grom itu asalnya dari Italia dan di sana termasuk murah, soalnya di sini mau mendekat ke tokonya aja agak segan gitu karena kesannya mahal.
ReplyDeleteUntungnya sih ga sampe liat copet di sana, tapi emang rasanya jadi jauh lebih was was karena temen2 bilang di Roma gak aman. Iya banget, kalau di Jakarta gak pernah mau jajan di Grom.
Delete